Minggu, 02 Oktober 2011

TEMPAT WISATA ALAM SUL-SEL

Taman Wisata Alam Sidrap

 Sebelumnya kawasan ini merupakan satu kesatuan dengan kelompok hutan Batumilla yang berfungsi sebagi hutan lindung berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian nomor 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982. Kemuadian karena keadaan alam potensi keunikan yang dimiliki maka kawasan ini berubah statusnya menjadi kawasan Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan nomor 722/Kpts-II/1992 tanggal 12 Oktober 1992 dengan luas ± 500 hektar. Kawasan ini ditata batas luar pada tahun 1995/1996 dan telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan keputusan nomor 236/Kpts-II/1997 tanggal 9 Mei 1997. Berdasarkan keputusan penunjukan sebagian kawasan menjadi taman wisata alam (perubahan fungsi), pada tahun 2000 diadakan penataan batas fungsi, sehingga luas TWA. Sidrap menjadi 246,25 hektar.

Nilai Keunikan yang dimiliki seperti yang telah disebutkan diatas adalah Keanekaragaman jenis flora dan faunanya, Formasi geologi yang menarik dengan adanya gua, air terjun dan sumber air panas (belerang) juga merupakan daya tarik kawasan, Kebudayaan masyarakat setempat juga mendukung kegiatan wisata di kawasan ini, Contoh perwakilan tipe ekosistem hutan pamah, Pengatur tata air, sumber air minum dan kesuburan tanah dan Sumber plasma nutfah (terutama jati dan TOGA).


Status Hukum
  • Penunjukkan         :  SK. Menteri kehutanan nomor 722/Kpts-II/1992 tanggal 12 Oktober 1992 seluas ± 500 hektar
  • Penetapan             :  SK. Menteri kehutanan dan perkebunan No. 196/Kpts-II/2003Tanggal 24 Juli 2003 seluas ± 246.25 ha
Tipe Ekosistem kawasan ini adalah Hutan Pamah Sekunder. Vegetasi didominasi oleh Jati Tectona grandis serta jenis-jenis rimba seperti Ficus spp dan Vitex cofassus. Tegakan Jati yang hampir mendominasi seluruh tegakan hutan di kawasan ini merupakan tanaman hasil kegiatan reboisasi pada tahun 1930-an. Bibit Jati yang ditanam berasal dari Raha (Sulawesi Tenggara). Pada kawasan ini terdapat anak-anak sungai yang airnya dimanfaatkan selain untuk kegiatan wisata, juga dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat di sekitar kawasan.
Aksesibilitas untuk mencapai kawasan ini tergolong mudah, dapat dicapai menggunakan kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan route Makassar – Parepare – Rappang - TWA. Sidrap.






















Taman Wisata Alam Malino

  Nilai Keunikan dari kawasan TWA Malino adalah kawasan ini merupakan daerah tangkapan air bagi Sungai Jeneberang dan memiliki hawa udara yang sejuk terutama di lokasi hutan pinus yang merupakan daerah dataran tinggi, ketinggiannya antara 1000 - 1600 mdpl. Setiap minggu bahkan tiap hari kawasan hutan pinus ini selalu ramai dipadati oleh pengunjung yang ingin menikmati udara sejuk serta pemandangan alam yang menakjubkan. Kawasan ini masih berstatus Penunjukkan berdasarkan SK. Menhut No. 420/Kpts-II/1991 tanggal 9/14/19 Juli 1991 seluas 3.500 ha.


Secara administratif kawasan ini berada di Desa Malino, Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa, Desa Bulutana, Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa dan Desa Gantarang, Kec. Tinggimoncong Kab. Gowa.
Terdapat beberapa aliran sungai permukaan yaitu sungai Bulang, Panbolo, Balina, anak sungai Tanggar dan anak sungai Takapala. Kesemuanya sungai tersebut mengalir ke muara sungai Jeneberang yang merupakan salah satu sumber air masyarakat kota makassar. Dan diantara sungai tersebut ada yang merupakan aliran dari sungai Takapala dan air terjun sungai Bulan..-.
TWA Malino dapat dicapai dengan mudah menggunakan kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan route : Makassar – Sungguminasa – Pakatto – Malino Bila menggunakan angkutan umum. Jarak 70 km dengan waktu tempuh 1,5 jam. Sedangkan jarak dari ibukota kabupaten 40 km dan dari ibukota kecamatan 1,5 km.





















 Kawasan ini sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat, terutama masyarakat kabupaten soppeng karena terdapat adanya sumber air panas yang sudah dikelola sedemikian rupa dengan fasilitas yang cukup memadai. Mulai dari fasilitas kolam pemandian, shelter, pemondokan, baruga, kamar mandi, pusat pembelanjaan dan sebagainya. Hampir tiap hari pengunjung tidak pernah sepi untuk mengunjungi kawasan ini, tercatat sampai dengan pertengahan tahun 2010, jumlah pengunjung mencapai ..... orang.
Kawasan ini masih berstatus hukum penunjukkan berdasarkan SK. Menhut No. 636/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996 seluas 1.265 ha. Kemudian dilakukan penataan batas, dan luasnya bertambah menjadi 1.318 ha
Secara administratif terletak di Desa BuluE, Kec. Marioroawa, Kab. Soppeng. dengan Batas kawasan Sebelah utara Kampong Lejja, Sebelah selatan Kampong DataE, Sebelah barat Gunung Pangesoren, Sebelah timur Desa BuluE/ Kampong Galung Kalunge. Jarak dari pusat kota kabupaten soppeng adalah sekitar 40 km.
Daerah ini mempunyai ketinggian antara 239 – 398 m dpl dengan Keadaan sumber air pada kawasan ini dijumpai aliran air permukaan (sungai Mario) dan aliran air bawah tanah. Sumber air panas dapat dijumpai di dalam kawasan yang kemudian dialirkan ke kolam pemandian serta bak penampungan dengan kedalaman yang bervariasi. Sedangkan tipe ekosistemnya adalah Hutan hujan tropis daratan rendah. Termasuk dalam tipe ekosistem zona hutan hujan bawah dengan vegetasi tingkat atas berupa Nyato (Plaqium batanense), Lantana (Lantana sp.),  Pangi (Pangium edulis), Bitti (Vitex covassa), Ara (Ficus spp.), Anruling (Pesonia umbeliformis), Kenanga (Cananga odonata), Kemiri (Aleuritas moluccana), Ketapang (Terminalia catampa), Enau (Arenga spp.), Cenrana (Pterocarpus indicus), Kayu hitam (Dyospiros celebica). Vegetasi tingkat bawah di antaranya adalah rotan (Calamus spp.).
Kawasan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda 2 dan roda 4 dengan route : Makassar – Soppeng – Desa BuluE. Jarak 175 km dengan waktu tempuh 4 jam melalui jalan aspal. Bila naik kendaraan umum dalam hal ini kendaraan roda 4 (orang menyebutnya panther).

 

 














Taman Wisata Alam Cani Sirenreng

 Berawal dari usulan penunjukkan Cani Sirenreng di Kabupaten Bone Sulsel sebagai hutan wisata seluas ± 3.125 ha berdasarkan SK Kakanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan No. 689/Kwl-5/1992 tanggal 23 April 1992 kemudian perubahan fungsi dan penunjukan kawasan Hutan Produksi Terbatas Cani Sirenreng  menjadi Taman Wisata Alam Cani Sirenreng dengan luas ± 3.125 ha atas dasar SK Menteri Kehutanan No. 197/Kpts-II-1993 tanggal 27 Februari 1993.

Daya tarik utama kawasan ini adalah kondisi alam, vegetasi yang masih bagus dan adanya air terjun bertingkat sebagai objek ekowisata. Air terjun ini berada di Desa Cani Sirenreng Kecamatan Ulaweng Kab. Bone.  Dikenal dengan nama Air terjun Baruttungnge.
  • Penunjukkan         :  SK. Menhut No. 197/Kpts-II/1993 tanggal 27 Februari 1993 seluas 3.125 ha.
  • Penetapan             :  SK. Menhut no. 403/Kpts-II/1999 tanggal 14 Agustus 1999 3.125 ha
Kawasan terletak di Kabupaten Bone tepatnya di 3 desa yaitu Desa Cani Sirenreng Kecamatan Ulaweng, Desa Pasempe Kecamatan Palakka dan Desa Tellu Boccoe Kecamatan Ponre terdapat 6 dusun yang berbatasan langsung dengan kawasan twa yaitu Tinco, Panyula, Galingkang, Gottang, Maningo dan Sappeulo. Ada juga yang berada di dalam kawasan yaitu Dusun Laule dan dusun Leppeng.
Hutan hujan tropis daratan rendah. Termasuk dalam tipe ekosistem zona hutan hujan bawah dengan vegetasi tingkat atas berupa Nyato (Plaqium batanense), Lantana (Lantana sp.),  Pangi (Pangium edulis), Bitti (Vitex covassa), Ara (Ficus spp.), Anruling (Pesonia umbeliformis), Kenanga (Cananga odonata), Kemiri (Aleuritas moluccana), Ketapang (Terminalia catampa), Enau (Arenga spp.), Cenrana (Pterocarpus indicus), Kayu hitam (Dyospiros celebica). Vegetasi tingkat bawah di antaranya adalah rotan (Calamus spp.).
Untuk mencapai kawasan ini diperlukan waktu sekitar 3,5 jam dari kota Makassar yang berjarak 145 km. ada 2 jalur yang dapat ditempuh yaitu Makassar – Maros – Cambah – Lappariaja – Bengo – Desa Cani Sirenreng atau Makassar – Soppeng – Desa Cani Sirenreng. Kawasan berada di jalan trans kabupaten yaitu Kabupaten Bone dan Maros dengan tipikal jalan permukaan aspal kelas II dan diantara perbukitan. Pengunjung dari luar Kota Bone menempuh jarak waktu ± 5 jam menuju TWA Cani Sirenreng ataupun ke Kab. Soppeng dengan ± 3 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Untuk menuju lokasi kualitas jalan yang dimiliki dinilai kurang memadai, kondisi jalan berlubang dan berbatu sehingga dapat menghambat pola sirkulasi pengunjung.

Taman Wisata Alam Nanggala III

 Berdasarkan peta tata batas yang ditetapkan oleh Zelf Bestuur no. 89 tgl 16 februari 1932 kawasan hutan yang terletak di kabupaten luwu merupakan kawasan hutan lindung. Kawasan Nanggala III sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung yang ditunjuk berdasarkan tata guna hutan kesepakatan. Kawasan ini diusulkan menjadi kawasan konservasi taman wisata alam berdasarkan surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan nomor 101/Kwss-6/1/1990 tanggal 18 Januari 1990. Usulan ini didukung oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam melalui surat nomor 2435/DJ-VI/TN/90 tanggal 24 Nopember 1990 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan.

Menteri Kehutanan kemudian menunjuk sebagian kawasan Nanggala III seluas ± 500 Ha untuk diubah fungsinya menjadi taman wisata alam melalui keputusan nomor 663/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juli 1992.

Panorama alam hutan tropis pegunungan bawah yang subur dan rimbun. Kawasan yang sering tertutup oleh kabut di siang hari. Pada saat cerah, dari kawasan ini dapat terlihat Kota Palopo dan sebagian Teluk Bone serta kawasan Pegunungan di Propinsi Sulawesi Tenggara. Karena bentuk topografi yang berbukit-bukit, dengan perbedaan elevasi yang curam terbentuk beberapa air terjun di dalam kawasan. Air terjun yang terbesar di kawasan ini, oleh masyarakat diberi nama “Sarambu Ma’gandang”. Fluktuasi debit air sungai di kawasan Nanggala III relatif konstan sepanjang tahun. Kebudayaan masyarakat setempat dan makanan khasnya (Pa’piong) juga merupakan salah satu daya tarik kawasan Nanggala III yang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja.
Secara administratif pemerintahan kawasan ini masuk dalam Kecamatan Telluwanua kota palopo dengan batas kawasannya adalah Sebelah utara berbatasan dengan Desa Battang, Wara Utara, juga Gunung sampuna dan HL nanggala III, Sebelah barat berbatasan dengan Desa Battang, Wara Utara, Sebelah selatan berbatasan dengan HL nanggala II dan III dan Sebelah timur berbatasan dengan Desa to jambu, HL nanggala II dan III.
Kawan TWA Nanggala termasuk daerah yang mudah untuk mendapatkan air, karena pada daerah ini banyak terdapat sumber air yang membentuk sungai kecil. Selain itu banyak juga terdapat sumber air yang berada di pinggir jalan poros antara palopo – tana toraja, dan ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat yang melintas untuk sekedar menghilangkan dahaga. Di dalam kawasan terdapat juga air terjun yang bernama sarambu ma’gandang..
Tipe Ekosistem Hutan Hujan Tropis Pegunungan Bawah. Banyak didominasi oleh pepohonan rimba yang subur dan rimbun. Pada beberapa bagian kawasan terdapat hutan homogen Agathis dammara dan Pinus merkusii. Bentang alam kawasan Nanggala III cukup menarik dengan formasi geologinya. Fluktuasi debit air sungai di kawasan Nanggala III relatif konstan sepanjang tahun. Satwa liar yang hidup alami di kawasan ini antara lain Macaca tonkeana serta berbagai jenis insecta..
Aksesibilitas Taman Wisata Alam Nanggala III dapat dicapai dengan jalur darat dari Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Rute menuju kawasan twa dari ibukota provinsi adalah Makassar – Parepare – Enrekang – Makale – Rantepao – TWA. Nanggala III (berjarak 329 km – 360 km) Atau Makassar – Parepare – Palopo – TWA Nanggala III (berjarak 390 – 420 Km). Waktu tempuh berkisar antara 7 hingga 8 jam. Kawasan twa berjarak 10 km dari ibukota kecamatan wara utara, atau 25 km dari kota palopo dan 30 km dari ibukota kabupaten tana toraja.

Taman Wisata Alam Danau Mahalona

 Kompleks hutan Danau Matano, Mahalona dan Towuti yang dulunya merupakan wilayah adminstrasi Pemerintah Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan awalnya ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 45/ Kpts/Um/1/1978 tanggal 25 Januari 1978 dengan fungsi lindung. Tahun 1978 diadakan survei oleh Direktur Jenderal Kehutanan untuk menilai potensinya. Pada tanggal 17 April 1979, Direktur Jenderal Kehutanan mengusulkan kawasan ini untuk dapat ditunjuk sebagai kawasan Taman Wisata Alam kepada Menteri Pertanian melalui surat No. 1243/Dj/I/1979. Memperhatikan surat Direktur Jenderal Kehutanan, maka Menteri Pertanian kemudian menunjuk kawasan Danau Matano, Mahalona dan Towuti menjadi kawasan konservasi Taman Wisata Alam dengan nama Taman Wisata Alam Danau Matano, Taman Wisata Alam Danau Mahalona, dan Taman Wisata Alam Danau Towuti melalui surat Keputusan No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal  24 April 1979.


Kawasan ini merupakan perwakilan ekosistem danau tectonic. Danau Mahalona adalah salah satu dari 3 gugusan danau di kompleks Malili. Panorama alam dan kebersihan air danau Mahalona merupakan salah satu daya tarik untuk melaksanakan kegiatan wisata tirta. Aliran air dan gelombangnya cukup tenang. Buaya Muara Crocodylus porosus dan Soa-soa Hydrosaurus amboinensis serta 8 jenis ikan air tawar endemik merupakan penghuni Danau Mahalona. Kondisi lingkungan danau masih sangat alami, karena tidak berbatasan dengan pemukiman penduduk dan jarang dikunjungi oleh manusia. Danau tectonic yang indah. Terbentuk dari lipatan perbukitan atau diperkirakan terbentuk dari jalur sungai yang melebar antara Danau Matano dan Danau Towuti. Kedalamannya hingga 73 m pada elevasi di atas 300 m dpl. Panorama alam yang indah sepanjang hari dapat dinikmati pada danau ini. Arus dan gelombang air yang tenang membuatnya sangat aman untuk berwisata tirta. Sumber air berasal dari 3 sungai/anak sungai yang salah satu diantaranya adalah aliran air sungai dari Danau Matano. Pada danau ini, hidup secara alami 8 species ikan endemik Sulawesi. Danau ini merupakan habitat alami Crocodylus porosus, Hydrosaurus amboinensis, dan Enhydris matannensis. Berbagai jenis burung dapat dijumpai pada kawasan ini sewaktu mencari makan
Secara umum kawasan konservasi Taman Wisata Alam Danau Mahalona terdiri dari kawasan perairan danau. Sumber air danau berasal dari beberapa mata air dan cacthment area di sekitar danau yang masuk ke danau melalui 3 sungai dan anak sungai yang salah satu diantaranya adalah aliran air sungai dari Danau Matano  Selain itu, terdapat sungai yang menghubungi TWA Danau Mahalona dengan TWA Danau Towuti..
Danau tectonic dengan kedalaman danau mencapai 73 m. Maksimum area danau seluas ± 2.337,5 ha (2.440 ha dalam The Indonesian Ecology Series, Volume 6 : The Ecology of Sulawesi (Whitten et al, 2002)) pada elevasi ± 300 m dpl. Sumber air danau berasal dari beberapa mata air dan catchment area di sekitarnya yang masuk ke dalam danau melalui 3 sungai/anak sungai. Salah satu diantaranya adalah aliran sungai yang berasal dari Danau Matano. Buaya Crocodylus porosus dan Soa-soa Hydrosaurus amboinensis serta 8 jenis ikan air tawar endemik merupakan penghuni Danau Mahalona yang dapat dengan mudah dijumpai. Enhydris matannensis merupakan jenis ular air tawar yang hidup di danau ini. Jenis aves yang dapat dengan mudah dijumpai antara lain Pecuk Ular Anhinga melanogaster yang menyelam ke danau untuk mencari ikan dan kemudian mengeringkan bulunya pada pucuk-pucuk pohon. Pada aliran sungai dengan lebatnya pepohonan pada sisi sungai, pernah dijumpai Babyrousa babirussa dan burung endemik Sulawesi dari famili Bucerotidae. Pada kawasan danau ini dan empat danau di sekitarnya (Matano, Towuti, Wawontoa dan Taparan Masapi) pernah diintroduksi jenis ikan konsumsi Karper Cyprinus carpio dan Sepat Trichogaster trichopterus yang berasal dari Asia Tengah pada awal abad ke-20 (Whitten et al, 2002).
Taman Wisata Alam Danau Mahalona dapat dicapai dengan jalur darat dari Kota Makassar. Jarak Kota Makassar ke kawasan Taman Wisata Alam Danau Mahalona secara keseluruhan adalah ± 580 Km, dengan jalur Makassar – Parepare – Palopo – Masamba – sorowako – TWA.  Danau Mahalona Atau Makassar – Parepare – Palopo – Masamba – wowondula – timampu – TWA. D. Mahalona. Transportasi melalui udara juga bias dilakukan dari bandara udara sultan hasanuddin menuju bandara di sorowako milik pt. inco dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Kondisi jalan darat yang dilalui relatif baik (jalan propinsi, jalan kabupaten dan jalan PT. INCO). Waktu tempuh berkisar antara 11 hingga 12 jam. Selain itu Taman Wisata Alam Danau Mahalona dapat ditempuh dengan menggunakan Pesawat Udara ke kota Masamba (Ibukota Kabupaten Luwu Utara) dan kemudian dilanjutkan dengan kendaraan darat ke desa Timampu, selanjutnya dari Desa Timampu menggunakan perahu motor yang berkekuatan 24 Pk melalui Danau Towuti dengan waktu tempuh ± 1 jam.


Wisata Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung






Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah kawasan konservasi yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Sebagai taman nasional, TN Bantimurung Bulusaraung mengemban fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pengelolaan kawasan konservasi. Bentuk pemanfaatan SDAH & E sebagai salah satu objek dan daya tarik wisata alam menjadi trend upaya pemanfaatan yang diyakini akan lebih mampu menjaga kelestarian alam dibandingkan bentuk pemanfaatan kayu dan non kayu lainnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pun mengamanatkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung telah sejak lama difungsikan sebagai objek tujuan wisata, bahkan taman wisata Bantimurung justru menjadi objek wisata andalan di Propinsi Sulawesi Selatan dan menjadi sumber Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) yang utama kedua bagi Kabupaten Maros setelah pertambangan. Julukan ‘The Kingdom of Butterfly”, fenomena air terjun di sela-sela tebing karst dan landscape karst yang fenomenal merupakan objek daya tarik wisata utama yang ditawarkan oleh lokasi wisata Bantimurung.
Tak terbatas pada potensi wisata Bantimurung, TN Bantimurung Bulusaraung masih memiliki potensi objek dan daya tarik wisata lainnya. Pattunuang, Bulusaraung, gua-gua alam, gua-gua prasejarah, terjalnya tebing karst, atraksi satwa Macaca maura di Karaenta, dan atraksi kupu-kupu yang merupakan flagship kawasan TN Bantimurung Bulusaraung serta sejumlah objek dan daya tarik wisata lainnya merupakan potensi yang dapat dikembangkan lebih jauh sebagai lokasi wisata alam untuk menopang pendapatan dan devisa Negara. Penyelenggaraan wisata alam pun turut menyediakan alternatif matapencaharian baru dan peluang berusaha bagi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan taman nasional. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk implementasi tanggung jawab Balai TN Bantimurung Bulusaraung dalam mengembangkan pemberdayaan daerah penyangga kawasannya.
Sejalan dengan tugas pokok dan fungsi taman nasional tersebut pula, maka Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PHKA) bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sepakat untuk menyelenggarakan percepatan pengembangan pariwisata alam di kawasan hutan konservasi yang difokuskan di 5 (lima) kawasan taman nasional, satu diantaranya adalah TN Bantimurung Bulusaraung. TN Bantimurung Bulusaraung pun kini diarahkan menjadi salah satu Satuan Kerja di bidang PHKA yang akan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, dengan salah satu kegiatan utamanya adalah pelayanan publik pada pemanfaatan wisata alam dan jasa lingkungan.
Mengemban amanat tersebut, maka perlu disusun perangkat perencanaan pengembangan wisata pada TN Bantimurung Bulusaraung yang sinergis dan terintegrasi dalam pembangunan regional dan nasional. Suatu perencanaan yang diarahkan pada upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam.

Bulusaraung
Gunung Bulusaraung merupakan lokasi pendakian para pecinta alam lokal. Gunung ini tidak terlalu tinggi dengan jalur pendakian yang tidak pula terlalu terjal. Kegiatan yang diselenggarakan adalah hill walking dan sigth seeing. panorama bentang lahan karst Maros-Pangkep dapat dengan jelas dinikmati dari puncak gunung ini.
Untuk menunjang pengembangan wisata minat khusus (hill walking, sigth seeing), diperlukan fasilitas dan utilitas wisata. Sepanjang jalur pendakian yang terbagi atas 10 pos pendakian, telah tersedia 5 (lima) pos pendakian berupa shelter. Dengan demikian masih diperlukan pembangunan fasilitas shelter yang sama di 5 (lima) pos pendakian lagi.
Dari ke-sepuluh pos pendakian, pos 9 yang merupakan tempat peristirahatan terakhir para pendaki sebelum mencapai puncak (pos 10). Pos ini cukup landai dan luas serta terdapat mata air yang dapat diakses oleh pendaki dengan mudah. Sebagai camping ground, pada pos pendakian ini pun belum tersedia fasilitas dan utilitas apapun. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kenyamanan pendaki dan menjaga kebersihan lingkungan, maka perlu dibangun shelter, MCK, dan tempat pengolahan/pembakaran sampah. Untuk pengembangan lebih jauh, dapat juga disediakan pondok jaga atau pondok wisata yang dapat membantu menyediakan berbagai kebutuhan pendaki.

Leang Londrong
Leang Lonrong cukup dikenal sebagai lokasi wisata yang berada di Kabupaten Pangkep. Lokasi wisata ini memiliki variasi objek wisata yang cukup beragam. Aliran sungai di dalam gua beserta ornament-ornamennya didukung oleh lingkungan hutan dengan vegetasi dan satwa liar yang beragam, menjadikan lokasi ini sangat menarik untuk dikembangkan. Beberapa aktivitas wisata yang dapat dilakukan di lokasi ini adalah trecking, wisata tirta, susur gua, animal watching, maupun wisata pendidikan.

Pattunuang
Pattunuang telah lama dikenal dan dijadikan areal camping ground oleh para pecinta alam setempat. Pada lokasi ini juga biasa dilakukan aktivitas panjat tebing dan selusur gua di gua-gua yang ada di sekitarnya (Gua Ramadhan dan Gua Pattunuang). Untuk menunjang kegiatan-kegiatan tersebut, telah disediakan fasilitas MCK (2 unit), Shelter (6 unit), Jalan trail wisata, pos jaga/loket, penangkaran kupu-kupu (sudah tidak berfungsi), dan 1 pos jaga.
Fasilitas tersebut masih dipandang kurang, karena Pattunuang diarahkan menjadi objek wisata andalan TN Bantimurung Bulusaraung selain taman wisata Bantimurung, yang kini dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Sebagaimana telah dirancang dalam dokumen Masterplan (Rencana Tapak) Pengembangan Wisata Pattunuang, maka akan dikembangkan untuk itu dibutuhkan pembangunan sarana dan prasarana wisata seperti Shelter, jembatan gantung, souvenir shop, cafetaria, information centre, MCK, jalan trail wisata, papan-papan informasi dan/atau interpretasi, serta fasilitas lainnya.

Wisata Budaya Tana Toraja

Wisata Budaya Tana Toraja
Budaya Tana Toraja merupakan warisan budaya dunia ribuan tahun yang lalu ( Tongkonan, Kuburan batu Lemo, Kuburan gua Londa, Kuburan kuno Kete Kesu, kuburan bayi Kambira, Upacara Rambu Solo) yang masih ada dan tetap dilestarikan serta menjadikan Tana Toraja sebagai obyek wisata nusantara di kawasan Indonesia Timur khususnya di Sulawesi selatan terbanyak dikunjungi Wisman , bahkan menjadikan Tana Toraja sebagai Obyek Wisata Budaya Dunia. 
Budaya Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan pada rumah adat Tongkonan dan tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Solo.
Di Tana Toraja masih ditemukan Tongkonan beratap batu, berumur 700 tahun dan masih berdiri kokoh serta mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa bertahun-tahun sampai keluarganya memiliki cukup biaya untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa (Kuburan Gua Londa) atau dinding gunung terjal (Kuburan Batu Lemo) . Tengkorak-tengkorak tersebut tersusun rapi , menunjukan bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan.
Selengkapnya kunjungi Wisata Budaya Tana Toraja dan tempat wisata di Tana Toraja
atau Anda ingin mempersiapkan perjalanan anda  ke  Tana Toraja
Tags: , , , , , ,
Posted in wisata indonesia timur, Wisata Sulawesi, Wisata Sulawesi Selatan


Gua Leang Leang













Wisata situs purbakala gua bersejarah di Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.
Gua leang leang menggambarkan  kehidupan manusia masa lampau, deretan gua-gua yang ada di hamparan pegunungan batu itu sangat menarik perhatian terutama para ilmuwan.
Lokasi Goa leang leang dapat ditempuh dari Bandara Sultan Hasanuddin dengan  menggunakan angkutan umum . Dari poros jalanan utama menuju tempat itu tidak terlalu bagus, tapi pemandangan di sekitarnya sangat indah  Batu-batuan besar berwarna hitam bertumpuk rapi di lapangan luas dengan pemandangan batu karakteristik yang sangat khas.
Di kawasan Gua Leang Leang , ditemukan dua gua yaitu gua PettaE dan gua Petta Kere. Dua gua itu letaknya tidak berjauhan. Gua pertama tampak sewaktu memasuki kawasan disekitarnya terdapat rumah penduduk sebagai tempat beristirahat,




Gua PettaE , pintu gua dipagari besi setinggi 1500 cm. Dari pintu itu, gambar tangan sudah terlihat karena gua itu memang tidak terlalu dalam. ada lima gambar telapak tangan, tapi hanya  tiga yang utuh. Selain telapak tangan, ada pula babi rusa dan sebuah mata tombak yang semuanya berwarna merah.
Pada gua Petta Kere. dapat ditempuh dengan berjalan kaki, kurang lebih 300 meter  dari Gua PettaE. Ada dua jalur yang dapat ditempuh. Jalur pertama menggunakan jalan yang sudah baik, jalur kedua melewati anak tangga di antara batu-batuan menyempit. dengan ketinggian  sekitar 20 meter dari permukaan tanah. disiapkan tangga besi berbelok . Goa ini menyimpan gambar yang lebih banyak . Ada sekitar 27 gambar telapak tangan, tapi yang terlihat utuh hanya sekitar 17 gambar. Sebuah gambar babi rusa gemuk terkapar dengan sebilah tombak menghunus ke jantung.
Selain gambar-gambar pada dinding gua, di sekitar gua itu juga ditemukan sampah dapur berupa kulit kerang dan keong yang berserakan.
Selain kedua Gua tersebut masih banyak lagi gua lainnya mungkin ada ratusan Gua .
Menurut sejarah, gambar tangan  itu merupakan tangan perempuan. Usian gambar itu lebih dari 5.000 tahun. Ukurannya tidak terlalu besar dan konon dibuat dalam waktu yang tidak bersamaan.
Tentang gambar tangan, ada tradisi purba masyarakat setempat yang menyebutkan, gambar tangan dengan jari lengkap bermakna sebagai penolak bala, sementara tangan dengan empat jari saja berarti ungkapan berdukacita. Gambar itu dibuat dengan cara menempelkan tangan ke dinding gua, lalu disemprotkan dengan cairan berwarna merah. Sat pewarna ini mungkin  dari mineral merah (hematite) yang banyak terdapat di sekitar gua (di batu-batuan dan di dasar sungai di sekitar gua), ada pula yang mengatakan dengan batu-batuan dari getah pohon yang dikunyah seperti sirih.

SEMOGA BERMANFAAT ...

See youuu.... :):):):)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar